Sabtu, 02 Juni 2012

AKHLAK BANGSA


AKHLAK BANGSA
Oleh Ir Luthfi Hidayat*

Kerusuhan bulan Mei yang mecatat banyak korban penjarahan dan perkosaan semakin menyayat perasaan kita akan kondisi moral dan akhlak bangsa ini. Terlebih ketika rentetan tindak kekerasan --terhadap wanita itu-- ditengarai beberapa pihak telah dilakukan dengan sistematis dan terorganisir, persis seperti cara-cara sistematis dan terorganisir dalam peristiwa pengrusakan dan pembakaran yang juga terjadi waktu itu. 
            Kendati keperihatinan kita tentang kemerosotan etika, moral, dan akhlak bukan hal yang baru, namun yang lebih jadi perhatian dan sekaligus sedikit membingungkan kita adalah, walaupun permasalahan tersebut sering dibahas, bahkan saban pagi menghiasai kuliah-kuliah subuh di TV, tetapi kondisi akhlak umat belum juga membaik. Atau setidaknya berhenti dari kemerosotannya yang kian tajam. 
            Dalam pandagan Islam, hal utama yang penting dipahami bahwa akhlak bukanlah nilai-nilai moral yang baik atau buruknya menurut pandangan manusia semata. Akan tetapi, akhlak mulia semisal berbuat baik, berlaku adil, adalah merupakan perintah dari Allah SWT dan Rasul-Nya yang harus kita taati. Allah SWT berfiman:  “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.  Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS An Nahl 90). 
            Oleh karena itu, saat kita berlaku jujur, bukan dilakukan semata-mata nilai kejujuran yang menurut pandangan manusia itu baik. Sikap demikian hakikatnya terlahir atas bukti kesungguhan kita mengikuti jejak Rasulullah saw.: “Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebajikan dan sesungguhnya kebajikan itu akan mengantarkannya ke surga. Dan seseorang yang senantiasa berkata benar dan jujur akan tercatat di sisi Allah sebagai orang yang benar dan jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan yang akhirnya menghantarkannya ke neraka. Dan seseorang yang senantiasa berdusta, akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta” (HR Bukhari dan Muslim).
            Begitu jua saat kita menilai suatu etika dan moral yang buruk serta akhlak yang tercela. Walaupun memang tindakan demikian dibenci oleh kebanyakan manusia, kebencian seorang muslim atas semua tindakan demikian hakikatnya terlahir dari ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Tindakan perkosaan dan penjarahan yang kita benci sesungguhnya terlahir dari nash-nash yang melarang kita melakukan perbuatan itu. Allah SWT melarang seorang muslim mendekati perbuatan zina (QS Al Isra’ 2), apalagi sampai melakukannya, baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, dilakukan oleh individu maupun kolektif. Allah SWT juga melarang seseorang untuk memakan harta saudaranya dengan cara-cara yang bathil (QS An Nisa 29).
            Walhashil, etika, moral yang baik dan akhlak yang mulia dalam pandangan Islam sarat dan kental dengan nilai-nilai ruh. Bukan hanya kulit, namun juga substansi. Juga terhindar dari bias-bias standard nilai manusia yang sering berbeda, yang juga tidak jarang ikut memberikan handil dalam terjadinya sengketa. Dan yang jelas, kalau akhlak dipandang hanya sebagai nilai-nilai baik menurut versi manusia, seorang muslim yang melakukannya tidak akan mendapat pahala dari sisi Allah, mungkin hanya sekedar kepuasan pujian dari manusia. Kita juga khawatir, jika akhlak tidak memiliki substansi ruh, dorongan atas ketaatan pada Allah, yang terjadi adalah moral dan etika kulit dari seorang yang hipokrit. []


* Staf Peneliti Pusat Studi Khazanah Ilmu-ilmu Islam (PSKII), Bogor
  Jl. Bhayangkara Raya No.02 Komplek Kedung Badak Baru. Bogor (16710).  Telp/Fax (0251) 330628

AKHLAK DALAM PANDANGAN ISLAM











AKHLAK
DALAM PANDANGAN ISLAM


Islam didefinisikan sebagai agama yang diturunkan Allah SWT kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia dengan Khaliq-nya, dirinya, dan dengan sesamanya. Hubungan manusia dengan Khaliq-nya mencakup urusan aqidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya mencakup akhlak, makanan/minuman dan pakaian. Sedangkan hubungan manusia dengan sesamanya mencakup mu'amalat dan uqubat/sanksi.
            Islam memecahkan problematika hidup manusia secara keseluruhan dan memfokuskan perhatiannya pada umat manusia secara integral bukan terhadap individu-individu atau umat tertentu. Oleh karena itu, Islam memecahkan problematika manusia dengan cara yang sama dan tetap/tidak berubah. Peraturan Islam dibangun atas asas rohani, yakni aqidah. Dengan demikian aspek kerohanian dijadikan sebagai asas peradabannya, asas negara dan asas syari'at Islam.
            Syari'at Islam telah merinci peraturan-peraturan ibadah, mu'amalat dan uqubat dengan perincian yang mendetail, akan tetapi syariat Islam tidak menjadikan akhlak bagian dari peraturan yang mendetail. Meskipun demikian syari'at Islam telah mengatur hukum-hukum akhlak berdasarkan suatu anggapan bahwa akhlak adalah perintah dan larangan Allah SWT, tanpa memperhatikan lagi apakah akhlak mesti diberi perhatian khusus yang dapat melebihi hukum-hukum atau ajaran Islam lainnya.
            Apabila ditinjau dari segi perincian hukum Islam, hukum-hukum akhlak termasuk yang paling sedikit dibandingkan dengan yang lain. Dalam fiqih tidak dibuat satu bab pun yang khusus untuk akhlak. Oleh karena itu dalam buku-buku fiqih yang mencakup hukum-hukum syara' tidak ditemukan satu bab khusus dengan sebutan bab akhlak. Para fuqaha dan mujtahidin tidak menitikberatkan pada pembahasan dan pengambilan hukum, dalam perkara akhlak.
            Akhlak tidak mempengaruhi sama sekali tegaknya suatu masyarakat baik kebangkitannya ataupun kemerosotannya. Masyarakat tegak dengan peraturan-peraturan hidup, dan yang mempengaruhinya adalah perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran, disamping kesepakatan umum yang lahir dari persepsi tentang hidup. Tambahan lagi yang menggerakkan masyarakat bukanlah akhlak, melainkan peraturan-peraturan yang diterapkan dalam masyarakat itu, pikiran-pikiran, dan perasaan yang ada pada manusia. Akhlak sendiri adalah produk berbagai pemikiran, perasaan, dan hasil penerapan peraturan.
            Atas dasar inilah, maka dalam mengemban dakwah tidak boleh hanya mengarahkan pada pembentukan akhlak dalam masyarakat, karena akhlak merupakan hasil dari pelaksanaan perintah-perintah Allah SWT, yang dapat dibentuk dengan cara mengajak masyarakat kepada aqidah dan melaksanakan Islam secara sempurna. Disamping itu, mengajak masyarakat pada akhlak semata, dapat memutar balikkan persepsi Islam tentang kehidupan dan dapat menjauhkan manusia dari pemahaman yang benar tentang hakekat dan bentuk masyarakat. Bahkan dapat membius manusia dengan hanya mengerjakan keutamaan amal-amal individual yang mengakibatkan kelengahan terhadap langkah-langkah yang benar menuju kemajuan bersama.
            Oleh karena itu, sangat berbahaya menjadikan dakwah islamiyah hanya mengarahkan pada pembentukan akhlak. Sebab, dakwah dengan cara seperti ini dapat mengkaburkan makna dakwah islamiyah sebenarnya, yang kemudian dapat diartikan sebagai dakwah (seruan) hanya kepada akhlak. Disamping dapat pula menghilangkan gambaran pemikiran (yang utuh) tentang Islam, serta menghalangi pemahaman manusia terhadap Islam. Terlebih lagi, dapat menjauhkan masyarakat dari satu-satunya metode dakwah yang dapat menghasilkan penerapan Islam, yaitu tegaknya Daulah Islamiyah.
            Syari'at Islam, pada saat mengatur hubungan manusia dengan dirinya, melalui hukum-hukum syari'at yang berkaitan dengan sifat-sifat akhlak, tentu tidak menjadikan hal itu sebagai aturan tersendiri, seperti halnya ibadah dan mu'amalat. Yang dilakukannya tidak lain hanya berusaha merealisasikan nilai-nilai tertentu yang diperintahkan oleh Allah SWT seperti jujur, amanah, tidak curang, ataupun dengki. Jadi akhlak dapat dibentuk dengan satu cara, yaitu memenuhi perintah Allah SWT untuk merealisir nilai moral, yaitu budi pekerti yang luhur dan kebajikan. Amanah, misalnya, adalah salah satu sifat akhlak yang diperintahkan oleh Allah SWT. Maka, wajiblah diperhatikan nilai moral tersebut tatkala melaksanakan amanat. Inilah yang dinamakan dengan akhlak.
            Adapun munculnya sifat-sifat tersebut, tidak lain karena hasil perbuatan manusia. Seperti halnya iffah (menjaga diri) merupakan hasil dari pelaksanaan shalat. Atau, sifat-sifat itu muncul karena memang wajib diperhatikan tatkala melaksanakan berbagai mu’amalat (transaksi), seperti sifat jujur yang harus ada pada saat mereka melakukan jual beli, dengan catatan bahwa aktivitas jual beli tidak otomatis menghasilkan nilai akhlak tertentu. Sebab, nilai tersebut tidak dijadikan tujuan dari pelaksanaan aktivitas jual beli. Tetapi sifat-sifat tersebut muncul sebagai hasil dari pelaksanaan amal perbuatan, atau suatu hal yang selalu wajib diperhatikan dan merupakan sifat-sifat akhlak bagi seorang mukmin tatkala ia beribadah kepada Allah SWT, dan tatkala ia ber-mu’amalat. Dengan demikian, seorang mukmin dari tujuan pertamanya telah menghasilkan nilai rohani dari pelaksanaan sholat. Sedangkan pada tujuan keduanya, ia menghasilkan nilai yang bersifat material dalam perdagangan sekaligus ia telah memiliki sifat-sifat akhlak.
            Syara' telah menjelaskan sifat-sifat yang dianggap sebagai akhlak yang baik dan dianggap sebagai akhlak buruk, menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan. Antara lain menganjurkan untuk mempunyai sifat jujur, amanah, manis muka, malu, berbakti kepada orang tua, silaturahmi kepada kerabat, menolong kesulitan orang lain, mencintai saudara sebagaimana mencintai diri sendiri dan lain-lain yang semisalnya, dianggap sebagai dorongan untuk mengikuti perintah Allah. Begitu pula syara' melarang mempunyai sifat-sifat yang bertolak belakang dengan sifat-sifat tadi, seperti berdusta, khianat, hasud (dengki), melakukan maksiat, dan semisalnya. Sifat-sifat tadi dan yang semisalnya dianggap sebagai suatu larangan, yang telah ditetapkan Allah SWT.
            Akhlak adalah bagian dari syari'at Islam. Atau bagian dari perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Akhlak harus ada serta nampak pada diri setiap muslim, agar sempurna seluruh amal perbuatannya dengan Islam, dan sempurna pula dalam melaksanakan perintah-perintah Allah. Akan tetapi untuk merealisasikannya di tengah-tengah masyarakat secara utuh, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mewujudkan perasaan-perasaan islami dan pemikiran-pemikiran Islam. Setelah ini diwujudkan di tengah-tengah kelompok masyarakat, maka akan terbentuk pulalah dalam diri individu-individu secara pasti. Tidak dipungkiri lagi bahwa untuk merealisirnya tidaklah dilakukan dengan jalan dakwah kepada akhlak, melainkan dengan jalan yang ditunjuk di atas, yaitu dengan membentuk perasaan dan pemikiran masyarakat.
            Sebagai langkah awal, perlu dipersiapkan suatu kelompok dakwah yang berlandaskan Islam secara keseluruhan, yang individu-individunya merupakan bagian dari jama'ah bukan sebagai individu yang terpisah, agar mereka mampu mengemban dakwah Islamiyah di tengah-tengah masyarakat, membentuk perasaan dan pemikiran Islam. Sehingga semua anggota masyarakat akan memiliki akhlak sebagai tindak lanjut, setelah mereka beramai-ramai kembali kepada Islam. Perlu digarisbawahi bahwa pemahaman kita dalam masalah ini tetap menjadikan akhlak sebagai suatu kebutuhan yang sangat penting tatkala memenuhi perintah-perintah Allah dan menerapkan Islam, serta menegaskan betapa pentingnya seorang muslim mempunyai akhlak yang mulia.
            Allah SWT telah menerangkan dalam berbagai surat Al-Quran tentang sifat-sifat yang wajib dimiliki, serta yang wajib diupayakan oleh manusia. Sifat-sifat tersebut menyangkut masalah-masalah aqidah, ibadah, mu’amalat dan akhlak. Empat sifat ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Allah SWT berfirman dalam surat Luqman:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ، وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ، وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ، يَابُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَوَاتِ أَوْ فِي اْلأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللهُ إِنَّ اللهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ، يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ، وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ، وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ اْلأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

"Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberikan pelajarannya: 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah benar-benar kezhaliman yang besar.
            Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua ibu dan bapaknya; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang terus bertambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kedua orang ibu dan bapakmu. Hanya kepada-Ku-lah tempat kembalimu.
            Dan jika keduanya memaksa kamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.
            Dan pergaulilah keduanya dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku-lah tempat kembalimu. Maka, (kelak akan) Kuberitakan kepadamu apa saja yang telah kamu kerjakan.
            (Luqman berkata:) 'Hai anakku, sesungguhnya tidak ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada di dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, pastilah Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
            Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya yang demikian itu hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
            Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
            Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai."(Luqman 13 - 19).

Allah SWT juga berfirman dalam surat Al-Furqaan:

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى اْلأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا، وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا، وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا، إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا، وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا، وَالَّذِينَ لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ وَلاَ يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَلاَ يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا، يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا، إِلاًّ مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا، وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللهِ مَتَابًا، وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا، وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا، وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا، أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا، خَالِدِينَ فِيهَا حَسُنَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا

            Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati. Dan apabila orang-orang jail menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.
Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.
Dan orang-orang yang berkata: 'Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami. Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.
            Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (balasan) dosa(nya).
(Yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.
Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal sholeh. Maka baginya kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.          Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal sholeh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.
Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan. Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
            Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.
Dan orang-orang yang berkata: 'Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.
            Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya.
Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman"(Al-Furqaan 63-76)

Juga Allah SWT berfirman dalam surat Al-Israa :

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا، وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا، رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا فِي نُفُوسِكُمْ إِنْ تَكُونُوا صَالِحِينَ فَإِنَّهُ كَانَ للأَوَّابِينَ غَفُورًا، وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا، إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا، وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِنْ رَبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُلْ لَهُمْ قَوْلاً مَيْسُورًا

            "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu dan bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara kedua-duanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ''ah'' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah pada mereka perkataan yang mulia.
            Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: 'Wahai Tuhanku kasihilah mereka keduanya, sebagiamana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil'.
            Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan. Dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
            Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas.
            Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena dengan itu kamu menjadi tercela dan menyesal.
Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rizqi kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Tahu dan Maha Melihat hamba-hamba-Nya.
            Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut menjadi miskin. Kamilah yang memberi rizqi kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang sangat besar.
Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
            Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya (untuk membalasnya). Tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
            Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa. Dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.
            Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
            Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan diminta pertanggungan-jawabnya
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setingi gunung.
Semua itu kejahatan yang amat dibenci di sisi Tuhanmu". (Al-Israa 23-28)

Ayat-ayat dalam ketiga surat di atas masing-masing merupakan satu kesatuan yang sempurna dengan menonjolkan sifat-sifat yang beraneka ragam, menggambarkan identitas muslim, dan menjelaskan kepribadian Islam yang pada hakekatnya berbeda dengan umat yang lain. Yang menarik perhatian pada sifat-sifat tersebut, bahwa ia berupa perintah-perintah dan larangan Allah.
            Sebagian merupakan hukum-hukum yang berkaitan dengan aqidah. Sebagian lainnya berkaitan dengan ibadah, mu’amalat dan akhlak. Dapat diperhatikan pula, bahwa ia tidak terbatas hanya pada sifat-sifat akhlak, tapi mencakup juga aqidah, ibadah, mu’amalat disamping akhlak. Inilah sifat-sifat yang dapat membentuk kepribadian Islam. Membatasi pengambilan hukum hanya pada akhlak, berarti meniadakan terbentuknya manusia yang sempurna dan berkepribadian yang islami. Untuk mencapai tujuan akhlak, maka hendaklah didasarkan atas landasan/asas ruhani, yakni aqidah islamiyah dan sifat akhlak tersebut harus berlandaskan aqidah semata. Oleh karena itu seorang muslim tidak akan memiliki sifat jujur hanya semata-mata kejujuran saja. tetapi karena Allah memerintahkan demikian; meskipun ia mempertimbangkan realisasi nilai akhlaknya tatkala ia berlaku jujur. Dengan demikian akhlak tidak semata-mata wajib dimiliki karena diperlukan oleh manusia, akan tetapi ia merupakan perintah Allah.
            Berdasarkan hal ini, seorang muslim harus mempunyai akhlak dengan segala sifat-sifatnya dan melakukannya dengan penuh ketaatan dan kepasrahan. Sebab, hal ini berhubungan dengan taqwa kepada Allah SWT. Memang akhlak biasanya muncul sebagai hasil ibadah, sesuai dengan firman Allah SWT:

إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ


"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar"(Al-Ankabut 45)

Wajib pula dipelihara dalam pelaksanaan (transaksi-transaksi) mu’amalat sebagaimana yang disinggung dalam atsar bahwa agama itu adalah mu’amalat (berhubungan dengan masyarakat). Disamping itu, akhlak merupakan sekumpulan perintah Allah dan larang-larangan-Nya. Oleh karena itu, akhlak pasti mengokohkan diri setiap muslim dan menjadikannya sebagi suatu sifat yang lazim (yang harus ada).
            Berdasarkan keterangan di atas, maka disatukannya akhlak dengan seluruh peraturan hidup --disamping merupakan sifat-sifat yang bebas/berdiri sendiri-- juga akan menjadi jaminan pembentukan pribadi setiap muslim (agar menyiapkan diri) dengan cara yang layak, mengingat bahwa mempunyai sifat-sifat akhlak, merupakan pemenuhan terhadap perintah Allah atau menjauhi larangan-Nya, bukan karena akhlak ini membawa manfaat atau madlarat dalam kehidupan. Inilah yang menjadikan seorang muslim mempunyai sifat akhlak yang baik secara terus menerus dan konsisten, selama ia berusaha melaksanakan Islam, dan selama ia tidak mengikuti/ memperhatikan aspek manfaat.
            Akhlak tidak ditujukan semata-mata demi kemanfaatan. Bahkan manfaat itu harus dijauhkan. Sebab tujuan akhlak adalah menghasilkan nilai akhlak saja, bukan nilai materi, nilai kemanusiaan, atau nilai kerohanian. Selain itu nilai-nilai itu tidak boleh dicampuradukkan dengan akhlak, agar tidak terjadi kebimbangan dalam memiliki akhlak beserta sifat-sifatnya. Perlu diingat di sini, bahwa nilai materi harus dijauhkan dari akhlak dan dijauhkan pula dari pelaksanaan akhlak yang hanya mencari kemanfaatan/ keuntungan. Hal ini justru sangat membahayakan akhlak.   
Walhasil akhlak tidak dapat dijadikan dasar bagi terbentuknya suatu masyarakat, melainkan salah satu dasar bagi pembentukan kepribadian individu masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat tidak dapat diperbaiki dengan akhlak, melainkan dengan dikembangkan dan dibentuknya pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan islami, serta diterapkannya aturan-aturan Islam di dalam masyarakat itu. Memang benar, akhlak merupakan salah satu dasar bagi pembentukan kepribadian individu masyarakat, itupun tidak hanya akhlak semata. Malah tidak boleh dibiarkan sendiri, tetapi digabung dengan aqidah, ibadah, dan mu’amalat. Atas dasar hal ini maka seseorang tidak diperhatikan akhlaknya yang baik itu, jika belum memeluk aqidah Islam. Sebab ia masih kafir, dan tidak ada dosa yang lebih besar dari pada kekafiran. Demikian pula seorang muslim tidak diperhatikan lagi akhlaknya yang baik itu sedangkan ia tidak melaksanakan ibadah atau tidak menjalankan mu’amalat sesuai dengan hukum syara'. Berdasarkan hal ini, telah menjadi suatu keharusan dalam meluruskan tingkah laku individu dengan membentuk dan memelihara aqidah, ibadah, mu’amalat, dan akhlak secara bersamaan. Menurut syara' tidak dibolehkan menitikberatkan hanya semata-mata akhlak dan meninggalkan sifat-sifat lainnya. Bahkan tidak boleh memperhatikan sesuatu sebelum mantap aqidahnya. Pemikiran yang menjadi dasar untuk akhlak adalah bahwasanya ia harus disandarkan kepada aqidah islamiyah. Disamping setiap mukmin handaknya mempunyai sifat akhlak hanya semata-mata sebagai perintah dan larangan Allah SWT.

Nilai Akhlak dalam Sistem Ekonomi Islam


Nilai Akhlak dalam Sistem Ekonomi Islam


Yang membedakan Islam dengan kapitalisme dan materialisme ialah bahwa Islam tidak pernah memisahkan ekonomi dengan akhlaq, sebagaimana tidak pernah memisahkan ilmu dengan akhlaq, politik dengan akhlaq, perang dengan akhlaq dan aktivitas mu’amalah lainnya dengan akhlaq. Islam adalah risalah yang diturunkan Allah SWT melalui Rasulullah untuk membenahi akhlaq manusia. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”.
Dalam sebuah tatanan sistem ekonomi kapitalisme seperti sekarang ini, perilaku ekonomi kaum muslimin telah terasingkan dari karakter akhlaq yang mulia. Etika (moral) yang dikembangkan dalam berbisnis hanya didasari oleh pertimbangan materi semata. Asas manfaat menjadi tolok ukur dalam perilaku ekonomi mereka. Kejujuran, amanah, baik hati dan sebagainya hanya dilakukaan saat terdapat manfaat materi di dalamnya. Ekonom kapitalis yang jujur hanya dilatarbelakangi oleh kepentingan meraup keuntungan materi. Mereka bersikap profesional juga karena manfaat materi. Mereka tidak melakukan penipuan karena takut kehilangan pelanggan yang merasa tertipu.
Kenyataannya moral memang bersifat universal. Pembeli akan merasa kecewa jika tertipu atau majikan akan merasa sakit hati jika pekerja malas bekerja dan sebagainya. Secara universal, siapapun tidak akan senang jika diperlakukan secara a-moral. Namun demikian, etika atau moral yang universal semacam ini adalah semu dan sementara. Moral akan dijunjung tinggi saat mendatangkan manfaat dan keuntungan materi. Sebaliknya, ketika dirasakan tidak perlu lagi, maka moral akan ditinggalkan. Moral akan berubah menjadi karakter menghalalkan segala cara (machiavelisme) dalam berperilaku ekonomi.

KEDUDUKAN AKHLAK DALAM ISLAM
Dalam perbincangan tentang akhlaq, seringkali kita mendengar beberapa kalangan membagi Islam ke dalam tiga bagian yaitu: (1) aqidah, (2) syari’ah dan (3) akhlaq. Namun sebagian lagi membagi Islam ke dalam dua bagian besar yaitu (1) aqidah dan (2) syari’ah, atau dengan kata lain (1) aqidah dan (2) nizam.[1]
Bagaimana sebenarnya kedudukan akhlaq dalam Islam? Islam mengatur dan menempatkan akhlaq sebagai bagian dari hukum syara’ yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya, melalui hukum-hukum syari'at yang berkaitan dengan sifat-sifat akhlak. Akhlaq menjadi aturan tersendiri, seperti halnya ibadah dan mu'amalat. Dengan demikian, akhlaq yang mulia akan senantiasa muncul menyertai pelaksanaan hukum lainnya. Ketika seorang sholat, sifat khusyu’ akan menyertainya. Keadilan akan menyertai sifat seorang hakim yang memberi keputusan dalam peradilan. Demikian pula kejujuran akan menjadi sifat seorang muslim dalam bermu’amalah.
Akhlaq dalam pandangan Islam bukanlah sekedar sifat baik, buruk atau moral semata. Maka, tidak selamanya sifat baik menurut pandangan manusia disebut dengan akhlaq mahmudah dan apabila bersifat buruk disebut dengan akhlaq mazmumah. Namun, Islam telah mendudukkan akhlaq sebagai realisasi nilai-nilai tertentu yang diperintahkan oleh Allah SWT seperti jujur, amanah, tidak curang, ataupun dengki. Jadi akhlak hanya dapat dibentuk dengan satu cara, yaitu memenuhi perintah Allah SWT untuk merealisir nilai moral, yaitu budi pekerti yang luhur dan kebajikan. Amanah, misalnya, adalah salah satu sifat akhlak yang diperintahkan oleh Allah SWT. Maka, wajiblah diperhatikan nilai moral tersebut tatkala melaksanakan amanat. Inilah yang dinamakan dengan akhlak.[2] Oleh karena itu, akhlaq didefinisikan sebagai sifat-sifat yang diperintahkan oleh Allah kepada seseorang muslim agar dijadikan sebagai sifat ketika melakukan perbuatan.[3]
Sifat-sifat akhlaq tersebut muncul karena hasil perbuatan manusia. Seperti khusyu’ merupakan sifat yang diperintahkan dalam pelaksanaan shalat, sifat jujur dalam berbagai mu’amalat (transaksi), adil dalam kekuasaan dan sebagainya. Sebagai catatan, keseluruhan aktivitas tersebut tidak secara otomatis menghasilkan nilai akhlak tertentu. Sebab, nilai tersebut tidak dijadikan tujuan dari pelaksanaan aktivitas jual beli. Tetapi sifat-sifat tersebut muncul sebagai hasil dari pelaksanaan amal perbuatan, atau suatu hal yang selalu wajib diperhatikan dan merupakan sifat-sifat akhlak bagi seorang mukmin tatkala ia beribadah kepada Allah SWT, dan tatkala ia bermu’amalat. Dengan demikian, seorang mukmin dari tujuan pertamanya telah menghasilkan nilai rohani dari pelaksanaan sholat. Sedangkan pada tujuan keduanya, ia menghasilkan nilai yang bersifat material dalam perdagangan sekaligus ia telah memiliki sifat-sifat akhlak.
Kebaikan ataupun keburukan dalam akhlaq tidak ditentukan oleh pandangan manusia tetapi oleh syara’. Seandainya nilai akhlaq ditentukan oleh manusia, maka ia akan berubah karena tempat dan waktu. Syara' telah menjelaskan sifat-sifat yang dianggap sebagai akhlak yang baik dan dianggap sebagai akhlak buruk, menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan. Antara lain menganjurkan untuk mempunyai sifat jujur, amanah, manis muka, malu, berbakti kepada orang tua, silaturahmi kepada kerabat, menolong kesulitan orang lain, mencintai saudara sebagaimana mencintai diri sendiri dan lain-lain yang semisalnya, dianggap sebagai dorongan untuk mengikuti perintah Allah. Begitu pula syara' melarang mempunyai sifat-sifat yang bertolak belakang dengan sifat-sifat tadi, seperti berdusta, khianat, hasud (dengki), melakukan maksiat, dan semisalnya. Sifat-sifat tadi dan yang semisalnya dianggap sebagai suatu larangan, yang telah ditetapkan Allah SWT.
Allah SWT telah menerangkan dalam berbagai surat Al Quraan tentang sifat-sifat yang wajib dimiliki, serta yang wajib diupayakan oleh manusia. Sifat-sifat tersebut menyangkut masalah-masalah aqidah, ibadah, mu’amalat dan akhlak. Empat sifat ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Allah SWT berfirman dalam surat Luqman:
"(Dan) ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberikan pelajarannya:'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah benar-benar kezhaliman yang besar.
(Dan) Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua ibu dan bapaknya; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang terus bertambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kedua orang ibu dan bapakmu. Hanya kepada-Ku-lah tempat kembalimu.
(Dan) jika keduanya memaksa kamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.
(Dan) pergaulilah keduanya dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku-lah tempat kembalimu. Maka, (kelak akan) Kuberitakan kepadamu apa saja yang telah kamu kerjakan.
(Luqman berkata:) 'Hai anakku, sesungguhnya tidak ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada di dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, pastilah Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya yang demikian itu hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
(Dan) janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
(Dan) sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai." (QS. Luqman 13 - 19).
Seruan Allah di atas merupakan satu kesatuan yang sempurna dengan menonjolkan sifat-sifat yang beraneka ragam, menggambarkan identitas muslim, dan menjelaskan kepribadian Islam yang pada hakekatnya berbeda dengan umat yang lain. Yang menarik perhatian pada sifat-sifat tersebut, bahwa ia berupa perintah-perintah dan larangan Allah.
Sebagian merupakan hukum-hukum yang berkaitan dengan aqidah. Sebagian lainnya berkaitan dengan ibadah, mu’amalat dan akhlak. Dapat diperhatikan pula, bahwa ia tidak terbatas hanya pada sifat-sifat akhlak, tapi mencakup juga aqidah, ibadah, mu’amalat disamping akhlak. Inilah sifat-sifat yang dapat membentuk kepribadian Islam. Membatasi pengambilan hukum hanya pada akhlak, berarti meniadakan terbentuknya manusia yang sempurna dan berkepribadian yang islami. Untuk mencapai tujuan akhlak, maka hendaklah didasarkan atas landasan/asas ruhani, yakni aqidah islamiyah dan sifat akhlak tersebut harus berlandaskan aqidah semata. Oleh karena itu seorang muslim tidak akan memiliki sifat jujur hanya semata-mata kejujuran saja. tetapi karena Allah memerintahkan demikian; meskipun ia mempertimbangkan realisasi nilai akhlaknya tatkala ia berlaku jujur. Dengan demikian akhlak tidak semata-mata wajib dimiliki karena diperlukan oleh manusia, akan tetapi ia merupakan perintah Allah.
Berdasarkan hal ini, seorang muslim harus mempunyai akhlak dengan segala sifat-sifatnya dan melakukannya dengan penuh ketaatan dan kepasrahan. Sebab, hal ini berhubungan dengan taqwa kepada Allah SWT. Memang akhlak biasanya muncul sebagai hasil ibadah, sesuai dengan firman Allah SWT:
"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar" (QS Al-ankabut 45)
Wajib pula dipelihara dalam pelaksanaan (transaksi-transaksi) mu’amalat sebagaimana yang disinggung dalam atsar bahwa agama itu adalah mu’amalat (berhubungan dengan masyarakat). Disamping itu, akhlak merupakan sekumpulan perintah Allah dan larang-larangan-Nya. Oleh karena itu, akhlak pasti mengokohkan diri setiap muslim dan menjadikannya sebagi suatu sifat yang lazim (yang harus ada).
Berdasarkan keterangan di atas, maka disatukannya akhlak dengan seluruh peraturan hidup --disamping merupakan sifat-sifat yang bebas/berdiri sendiri-- juga akan menjadi jaminan pembentukan pribadi setiap muslim (agar menyiapkan diri) dengan cara yang layak, mengingat bahwa mempunyai sifat-sifat akhlak, merupakan pemenuhan terhadap perintah Allah atau menjauhi larangan-Nya, bukan karena akhlak ini membawa manfaat atau madlarat dalam kehidupan. Inilah yang menjadikan seorang muslim mempunyai sifat akhlak yang baik secara terus menerus dan konsisten, selama ia berusaha melaksanakan Islam, dan selama ia tidak mengikuti/ memperhatikan aspek manfaat.
Akhlak tidak ditujukan semata-mata demi kemanfaatan. Bahkan manfaat itu harus dijauhkan. Sebab tujuan akhlak adalah menghasilkan nilai akhlak saja, bukan nilai materi, nilai kemanusiaan, atau nilai kerohanian. Selain itu nilai-nilai itu tidak boleh dicampuradukkan dengan akhlak, agar tidak terjadi kebimbangan dalam memiliki akhlak beserta sifat-sifatnya. Perlu diingat di sini, bahwa nilai materi harus dijauhkan dari akhlak dan dijauhkan pula dari pelaksanaan akhlak yang hanya mencari kemanfaatan/keuntungan. Hal ini justru sangat membahayakan akhlak.          

AKHLAK MULIA DALAM EKONOMI ISLAM

Sebagai gambaran bagaimana seharusnya akhlaq para pelaku ekonomi dalam menjalankan mu’amalahnya, berikut disampaikan beberapa akhlaq mulia yang berkaitan dengan aktivitas perekonomian.

Berbaik Hati dalam Bermu’amalah

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu Anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu Alaibi wa Sallam bersabda, "Allah menyayangi seseorang yang berbaik hati ketika berjualan, ketika membeli dan ketika menagih hutang." Disebutkan dalam sebuah riwayat lain, "... bila membayar hutang." (Diriwayatkan AI-Bukhary, At-Tirmidzy dan lbnu Majah).[4]
Dalam hadits di atas Nabi mewajibkan sikap baik pada empat hal yaitu berjualan, membeli, menagih hutang dan membayar hutang. Berbaik hati dalam berjualan adalah tidak berlaku pelit dengan barang dagangannya, tidak memasang harga terlalu tinggi, tidak terlalu berpikir pada keuntungan, tidak bertele-tele dalam tawar menawar, tapi hendaklah menunjukkan jiwa yang mulia, menerima dengan keuntungan yang sedikit, dan tidak banyak bicara. Berbaik hati dalam membeli berarti sederhana dalam memberikan penilaian, tidak banyak membuang-buang waktu dalam hal-hal yang sangat sepele, apalagi bila barang yang dibeli itu harganya tidak seberapa. Posisi pembeli memang orang yang kaya, sebaliknya penjual butuh uang, tapi hendaklah sikap pembeli tidak memuakkan si penjual dengan ketidakmenentuan sikap dan menyita waktu bagi pembeli lain atau tujuan yang lain. Tidak terus menerus menawar pada barang yang sudah diketahui cacatnya dengan harga yang sangat rendah.
Berbaik hati dalam menagih hutang artinya pada saat menuntut hak atas hutangnya, melakukannya dengan lemah lembut. Hendaknya pemberi hutang melihat bagaimana keadaan orang yang berhutang itu, apakah dalam kesusahan atau tidak. Bila ia dalam kesusahan maka tunggulah, atau tundalah. Bahkan bila keadaanya sudah tidak memungkinkannya untuk mengembalikan hutangnya maka sebaiknya disedekahkan atau dihapuskan hutangnya.
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan, menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. " (QS AI-Baqarah: 280).
Berbaik hati dalam menagih hutang berarti pula tidak mendesak orang yang berhutang di depan mata dan telinga orang banyak. Karena, bila mereka yang tidak mengetahui urusannya sampai tahu akan membuat penghutang menjadi malu. Hendaklah pula penagih hutang tidak mengeraskan suara agar tidak membuat si penghutang merasa risih. Tidak menagih dengan cara yang membosankan, atau menagih pada saat si penghutang sedang menikmati waktu-waktu istirahatnya karena tagihan itu akan mengurangi kesenangannya meski di satu sisi ia harus segera memberikan hak-haknya. Tidak perlu menyelesaikan masalah hutang itu di pengadilan bila sesampainya waktu jatuh tempo pembayaran ia baru bisa menyanggupi untuk melunasi.
Sedangkan yang dimaksud dengan berbaik hati dalam membayar hutang adalah mengembalikan hutang pada waktu yang telah ditentukan, tidak mengulur-ngulur jangka waktu pengembaliannya dan mengucapkan rasa syukur dan berdoa ketika dapat mengembalikannya, atau apapun yang dapat mencerminkan sikap baik. Membayar hutang sebelum jatuh tempo adalah lebih baik daripada menunggu hingga jatuh tempo padahal ia telah sanggup membayarnya.

Kejujuran
Kejujuran adalah buah dari keimanan, sebagai ciri utama orang mukmin, bahkan ciri para Nabi. Tanpa kejujuran, agama tidak akan tegak dan tidak akan stabil. Sebaliknya, kebohongan dan kedustaan adalah bagian daripada sikap orang munafik.
Bencana terbesar akan melanda jika para pelaku ekonomi melakukan dusta. Pedagang berbohong dalam mempromosikan barang dan menetapkan harga di atas harga yang wajar. Sedangkan pembeli melakukan kebohongan pada saat menawar harga. Demikian pentingnya faktor kejujuran dalam perilaku ekonomi hingga Allah menempatkan kejujuran sebagai karakter pedagang yang membawanya kepada derajat yang dangat tinggi di hadapan AlIah.
"Pedagang yang benar dan terpercaya bergabung dengan para nabi, orang-orang benar (shiddiqin), dan para syuhada.”
Kejujuran dalam berbagai segi akan mendatangkan berkah bagi penjual maupun pembeli.
"Penjual dan pembeli bebas memilih selama belum putus transaksi. Jlka keduanya bersikap benar dan mau menjelaskan kekurangan barang yang diperdagangkan maka keduanya mendapatkan berkah dari jual-belinya. Namun, jika keduanya saling menutupi aib barang dagangan itu dan berbohong, maka jika mereka mendapat laba, hilanglah berkah jual-beli itu." (HR Tirmidzi)
Dusta dalam berdagang sangat dikecam, terlebih jika diiringi sumpah atas nama Allah. Inilah sumpah palsu dan tercela yang pengucapnya berdosa dan kelak masuk neraka. Menurut syariah, banyak bersumpah dalam berdagang adalah makruh karena perbuatan ini mengandung unsur merendahkan nama Allah, juga dikhawatirkan bisa menjerumuskan seseorang ke dalam dusta. Lalu, bagaimana pula jika sumpahnya sejak awal memang sebuah kebohongan?
"Empat tipe manusia yang dimurkai Allah: penjual yang suka bersumpah, orang miskin yang congkak, orang tua renta yang berzina, dan imam yang zalim.” (HR Nasai’i dan Ibnu Hibban dalam shahihnya).
Seseorang yang mudah bersupah atas nama Allah dengan maksud melariskan barang dagangannya adalah orang yang telah merendahkan nama Allah. Inilah bencana yang diderita oleh pedagang di dunia. Mereka disibukkan oleh laba yang kecil yaitu materi daripada laba yang besar yaitu keberkahan dan keridhaan Allah. Mereka terpaku pada keberuntungan yang fana daripada keberuntungan yang kekal.
Inilah yang dikatakan oleh Nabi ketika beliau keluar rumah dan melihat komunitas manusia sedang berjual beli. Beliau berseru, '"Wahai, para pedagang!" Pandangan segenap pedagang pun segera terarah kepada beliau. Nabi melanjutkan, "Sesungguhnya para pedagang dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan durhaka kecuali orang yang bertakwa kepada Allah, berbuat baik, dan jujur.” (HR Tirmidzi, hadits hasan shahih)
Hadits lain berbunyi, "Sesungguhnya para pedagang itu adalah pendurhaka." Mereka berkata, "Ya, Rasulullah! Bukankah dihalalkan berjual beli?" Nabi menjawab, "Benar, tetapi mereka terlalu mudah bersumpah sehingga mereka berdosa dan terlalu banyak berbicara sehingga mereka mudah berbohong." (HR Ahmad dan Abdurrahman, al-Muntaqa : 1005).
Pada zaman sekarang, untuk mempromosikan komoditi dagangannya, orang menggunakan sarana iklan. Banyak sekali iklan yang sebenarnya tidak sesuai dengan fakta barang yang diiklankan. Kenyataan membuktikan, pengaruh iklan sangat besar dalam mempengaruhi perilaku konsumen. Konsumen banyak dikelabui oleh iklan yang memikat, baik yang disampaikan dalam bentuk tulisan, lisan, maupun gambar. Gencarnya promosi melalui iklan mengakibatkan seseorang membeli barang yang sebenarnya sama sekali tidak dibutuhkannya. Bahkan, karena pengaruh iklan yang begitu kuat, meski tidak sanggup membelinya, mereka terkadang berani berhutang.
Di dalam atsar (sunnah), disebutkan bahwa ciri pedagang yang lurus adalah: "Mereka adalah orang-orang yang jika menjual tidak memuji barang dagangannya dan jika membeli tidak mencela barang beliannya." Bandingkanlah ciri ini dengan kebiasaan orang-orang yang sering memuji-muji barang dagangannya lewat iklan dan promosi.

Jujur Dalam Menunjukkan Cacat

Selain benar dan memegang amanat, seorang pedagang harus berlaku jujur, dilandasi keinginan agar orang lain mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan sebagaimana ia menginginkannya dengan cara menjelaskan cacat barang dagangan yang dia ketahui dan yang tidak terlihat oleh pembeli. Nabi menjadikan kejujuran sebagai hakikat agama.
"Agama itu kesetiaan terhadap Allah, Rasu/, Kitab, pemimpin-pemimpin muslimin, dan rakyat.” (HR Muslim dari Tamim Addarani).
Diriwayatkan dari Uqbah : "Muslim itu adalah saudara muslim. Tidak boleh bagi seorang muslim, apabila ia berdagang dengan saudaranya dan menemukan cacat, kecuall diterangkannya." (HR Thabrani dan Ahmad)
Abu Siba' mengisahkan: "Saya membeli unta dari rumah Watsilah ibnul Asqa. Ketika keluar dari rumahnya, dia mengejar saya dengan menyeret sarungnya dan bertanya, "Sudah kamu beli?" Jawabku, "Sudah." Katanya, "Saya akan menerangkan cacat unta ini." Kataku, "Apa cacatnya? Bukankah unta ini gemuk dan terlihat sehat?" la bertanya, "Kamu ingin unta ini untuk dikendarai atau dimakan dagingnya?" Kataku, "Untuk pergi haji dengan mengendarai unta ini." Katanya, "Kembalikan saja unta itu." Si pemilik dan penjual unta berkata: "Apa yang kamu kehendaki, semoga Allah meluruskan kamu, apakah kamu ingin menggagalkan penjualan saya?" Watsilah berkata "Saya mendengar Rasulullah bersabda, Tidak boleh seseorang menjual sesuatu kecuali ia menerangkan apa yang ada dalam barang itu dan orang yang mengetahui cacat barang itu harus memberitahukan hal itu. (HR Muslim dan Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah, al-Muntaqa: 990)
Lawan sifat jujur adalah menipu (curang), yaitu menonjolkan keunggulan barang tetapi menyembunyikan cacatnya. Masyarakat umum sering tertipu oleh perlakuan para pedagang seperti ini. Mereka mengira suatu barang itu baik kualitasnya, namun ternyata sebaliknya. Sifat menipu ini sangat dikecam oleh Nabi.
"Barang siapa menipu (curang), bukanlah dari golongan kami."
Ketika Nabi melewati pedagang makanan, beliau memasukkan tangan ke dalam makanan kering yang dijual oleh seseorang. Ternyata, di antara makanan kering itu, terdapat makanan yang basah. Beliau bertanya, "Apakah ini, wahai penjual makanan?" la berkata, "Makanan basah yang terkena hujan." Kata Nabi, "Mengapa tidak kamu letakkan di atas agar terlihat oleh orang? Barang siapa yang menipu maka ia bukan dari golongan kami."
Perkataan "bukan dari golongan kami" menunjukkan bahwa menipu (curang) adalah dosa besar. Jika ia termasuk dosa kecil, ia bisa dihapuskan dengan shalat lima waktu. Hadits ini mencakup seluruh sifat curang, seperti curang dalam sewa-menyewa, dalam menjalin kerja sama, dan dalam berdagang. Salah satu sikap curang adalah "melipatgandakan harga" terhadap orang yang tidak mengetahui harga pasaran. Pedagang mengelabui pembeli dengan menetapkan harga di atas harga pasaran. Sebaliknya, kalau membeli, ia berusaha mendapatkan harga di bawah standar. Tindak penipuan ini bisa juga dilakukan oleh orang yang menjalankan usaha sewa-menyewa barang, berdagang mata uang, atau bekerja dengan sistem bagi hasil. Pihak yang tidak mengetahui, dikelabui karena kebodohannya.
Menurut salafus-saleh, memberitahukan cacat barang yang dijual kepada calon pembeli perlu dilakukan karena hal itu merupakan kejujuran. Misalnya, jika menjual barang, Jarir bin Abdullah memperlihatkan cacat barang itu kepada calon pembeli lalu berkata, "Jika kamu mau, ambillah, dan jika tidak, tinggalkan." Seorang pembeli berkomentar, "Jika kamu berbuat begini, niscaya tidak seorang pun membeli barang daganganmu." Jabir berkata, "Saya telah berbaiat kepada Rasulullah untuk berlaku jujur kepada setiap muslim."
Imam Al Ghazali mengomentari peristiwa ini sebagai berikut, "Mereka telah memahami arti kejujuran, yaitu tidak rela terhadap apa yang menimpa temannya kecuali yang ia rela jika hal itu menimpa dirinya sendiri. Mereka tidak memandang hal ini sebagai kemuliaan dan kedudukan yang tinggi. Mereka berkeyakinan bahwa kejujuran adalah syarat Islam yang mereka berikan dan yang termasuk dalam baiat mereka. Karena hal ini sulit dilaksanakan oleh sebagian besar makhiuk, maka mereka memilih untuk mengisolasi diri dari manusia dan menyendiri untuk beribadah. Sesungguhnya, melaksanakan hak-hak Allah dengan bermuamalat dengan manusia adalah suatu mujahadah yang tidak bisa dilaksanakan kecuali oleh orang-orang yang benar (lurus)."'

Menepati Amanat (Tanggung Jawab)
Menepati amanat merupakan akhlaq yang mulia. Allah menggambarkan orang mukmin yang beruntung. Allah tidak suka orang-orang yang berkhianat dan tak merestui tipu dayanya.
"Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya dan janjinya)." (QS al-Mukmin : 8)
Dalam hadits sahihain, Nabi bersabda, "Tiga golongan yang termasuk munafik meski ia berpuasa, shalat, dan mengaku muslim yaitu jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia tidak menepati, dan jika diamanatkan ia berkhianat."
Maksud amanat adalah mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu melebihi haknya dan tidak mengurangi hak orang lain, baik berupa harga atau upah.
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya."' (QS an-Nisa’ : 58)
Dalam berdagang, dikenal istilah "menjual dengan amanat" seperti "menjual murabahah". Maksudnya, penjual menjelaskan ciri-ciri, kualitas, dan harga barang dagangan kepada pembeli tanpa melebih-lebihkannya. Amanat bertambah penting pada saat seseorang membentuk serikat dagang, melakukan bagi hasil (mudharabah), atau wakalah (menitipkan barang untuk menjalankan proyek yang telah disepakati bersama). Dalam hal ini, pihak yang lain percaya dan memegang janji demi kemaslahatan bersama. Jika salah satu pihak menjalankannya hanya demi kemaslahatan pihaknya, maka ia telah berkhianat.
"Aku adalah yang kedua dari dua orang yang berserikat, selama salah satu dari keduanya tidak mengkhianati temannya. Apabila salah satu dari keduanya berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (Hadits Qudsi). Ditambahkan oleh Razin: " ... dan datanglah setan."

AKHLAQ TERCELA DALAM EKONOMI ISLAM

1.     Curang
2.     Menyembunyikan Cacat


[1] Al-Islam: aqidatan Wa Syari’atan, Prof. Dr. Mahmud Syaltut hlm. 11; Nizam Al Islam, As-Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, hlm. 68.
[2] Lihat Mafahim Syari’ah Lembaga Dakwah Kampus
[3] Lihat Islam : Politik dan Spiritual, Hafidz Abdurrahman, hlm. 26.
[4] Lihat Adabun Nabi, Abdul Qadir Ahmad Atha, hlm. 36