AKHLAK
DALAM PANDANGAN ISLAM
|
Islam didefinisikan
sebagai agama yang diturunkan Allah SWT kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW, untuk mengatur hubungan manusia dengan Khaliq-nya, dirinya, dan
dengan sesamanya. Hubungan manusia dengan Khaliq-nya mencakup urusan
aqidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya mencakup akhlak,
makanan/minuman dan pakaian. Sedangkan hubungan manusia dengan sesamanya
mencakup mu'amalat dan uqubat/sanksi.
Islam memecahkan problematika hidup manusia secara
keseluruhan dan memfokuskan perhatiannya pada umat manusia secara integral
bukan terhadap individu-individu atau umat tertentu. Oleh karena itu, Islam
memecahkan problematika manusia dengan cara yang sama dan tetap/tidak berubah.
Peraturan Islam dibangun atas asas rohani, yakni aqidah. Dengan demikian
aspek kerohanian dijadikan sebagai asas peradabannya, asas negara dan asas
syari'at Islam.
Syari'at Islam telah merinci peraturan-peraturan ibadah, mu'amalat
dan uqubat dengan perincian yang mendetail, akan tetapi syariat Islam
tidak menjadikan akhlak bagian dari peraturan yang mendetail. Meskipun demikian
syari'at Islam telah mengatur hukum-hukum akhlak berdasarkan suatu anggapan
bahwa akhlak adalah perintah dan larangan Allah SWT, tanpa memperhatikan lagi
apakah akhlak mesti diberi perhatian khusus yang dapat melebihi hukum-hukum
atau ajaran Islam lainnya.
Apabila ditinjau dari segi perincian hukum Islam,
hukum-hukum akhlak termasuk yang paling sedikit dibandingkan dengan yang lain.
Dalam fiqih tidak dibuat satu bab pun yang khusus untuk akhlak. Oleh karena itu
dalam buku-buku fiqih yang mencakup hukum-hukum syara' tidak ditemukan satu bab
khusus dengan sebutan bab akhlak. Para fuqaha dan mujtahidin tidak
menitikberatkan pada pembahasan dan pengambilan hukum, dalam perkara akhlak.
Akhlak tidak mempengaruhi sama sekali tegaknya suatu
masyarakat baik kebangkitannya ataupun kemerosotannya. Masyarakat tegak dengan
peraturan-peraturan hidup, dan yang mempengaruhinya adalah perasaan-perasaan
dan pikiran-pikiran, disamping kesepakatan umum yang lahir dari persepsi
tentang hidup. Tambahan lagi yang menggerakkan masyarakat bukanlah akhlak,
melainkan peraturan-peraturan yang diterapkan dalam masyarakat itu,
pikiran-pikiran, dan perasaan yang ada pada manusia. Akhlak sendiri adalah
produk berbagai pemikiran, perasaan, dan hasil penerapan peraturan.
Atas dasar inilah, maka dalam mengemban dakwah tidak
boleh hanya mengarahkan pada pembentukan akhlak dalam masyarakat, karena akhlak
merupakan hasil dari pelaksanaan perintah-perintah Allah SWT, yang dapat
dibentuk dengan cara mengajak masyarakat kepada aqidah dan melaksanakan Islam
secara sempurna. Disamping itu, mengajak masyarakat pada akhlak semata, dapat
memutar balikkan persepsi Islam tentang kehidupan dan dapat menjauhkan manusia
dari pemahaman yang benar tentang hakekat dan bentuk masyarakat. Bahkan dapat
membius manusia dengan hanya mengerjakan keutamaan amal-amal individual yang
mengakibatkan kelengahan terhadap langkah-langkah yang benar menuju kemajuan
bersama.
Oleh karena itu, sangat berbahaya menjadikan dakwah islamiyah
hanya mengarahkan pada pembentukan akhlak. Sebab, dakwah dengan cara seperti
ini dapat mengkaburkan makna dakwah islamiyah sebenarnya, yang kemudian dapat
diartikan sebagai dakwah (seruan) hanya kepada akhlak. Disamping dapat pula
menghilangkan gambaran pemikiran (yang utuh) tentang Islam, serta menghalangi
pemahaman manusia terhadap Islam. Terlebih lagi, dapat menjauhkan masyarakat
dari satu-satunya metode dakwah yang dapat menghasilkan penerapan Islam, yaitu
tegaknya Daulah Islamiyah.
Syari'at Islam, pada saat mengatur hubungan manusia
dengan dirinya, melalui hukum-hukum syari'at yang berkaitan dengan sifat-sifat
akhlak, tentu tidak menjadikan hal itu sebagai aturan tersendiri, seperti
halnya ibadah dan mu'amalat. Yang dilakukannya tidak lain hanya berusaha
merealisasikan nilai-nilai tertentu yang diperintahkan oleh Allah SWT seperti
jujur, amanah, tidak curang, ataupun dengki. Jadi akhlak dapat dibentuk dengan
satu cara, yaitu memenuhi perintah Allah SWT untuk merealisir nilai moral,
yaitu budi pekerti yang luhur dan kebajikan. Amanah, misalnya, adalah salah
satu sifat akhlak yang diperintahkan oleh Allah SWT. Maka, wajiblah
diperhatikan nilai moral tersebut tatkala melaksanakan amanat. Inilah yang
dinamakan dengan akhlak.
Adapun munculnya sifat-sifat tersebut, tidak lain karena
hasil perbuatan manusia. Seperti halnya iffah (menjaga diri) merupakan
hasil dari pelaksanaan shalat. Atau, sifat-sifat itu muncul karena memang wajib
diperhatikan tatkala melaksanakan berbagai mu’amalat (transaksi), seperti
sifat jujur yang harus ada pada saat mereka melakukan jual beli, dengan catatan
bahwa aktivitas jual beli tidak otomatis menghasilkan nilai akhlak tertentu.
Sebab, nilai tersebut tidak dijadikan tujuan dari pelaksanaan aktivitas jual
beli. Tetapi sifat-sifat tersebut muncul sebagai hasil dari pelaksanaan amal
perbuatan, atau suatu hal yang selalu wajib diperhatikan dan merupakan
sifat-sifat akhlak bagi seorang mukmin tatkala ia beribadah kepada Allah SWT,
dan tatkala ia ber-mu’amalat. Dengan demikian, seorang mukmin dari
tujuan pertamanya telah menghasilkan nilai rohani dari pelaksanaan sholat.
Sedangkan pada tujuan keduanya, ia menghasilkan nilai yang bersifat material
dalam perdagangan sekaligus ia telah memiliki sifat-sifat akhlak.
Syara' telah menjelaskan sifat-sifat yang dianggap
sebagai akhlak yang baik dan dianggap sebagai akhlak buruk, menganjurkan
kebaikan dan melarang keburukan. Antara lain menganjurkan untuk mempunyai sifat
jujur, amanah, manis muka, malu, berbakti kepada orang tua, silaturahmi kepada
kerabat, menolong kesulitan orang lain, mencintai saudara sebagaimana mencintai
diri sendiri dan lain-lain yang semisalnya, dianggap sebagai dorongan untuk
mengikuti perintah Allah. Begitu pula syara' melarang mempunyai sifat-sifat
yang bertolak belakang dengan sifat-sifat tadi, seperti berdusta, khianat,
hasud (dengki), melakukan maksiat, dan semisalnya. Sifat-sifat tadi dan yang
semisalnya dianggap sebagai suatu larangan, yang telah ditetapkan Allah SWT.
Akhlak adalah bagian dari syari'at Islam. Atau bagian
dari perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Akhlak harus ada serta
nampak pada diri setiap muslim, agar sempurna seluruh amal perbuatannya dengan
Islam, dan sempurna pula dalam melaksanakan perintah-perintah Allah. Akan
tetapi untuk merealisasikannya di tengah-tengah masyarakat secara utuh, maka
tidak ada jalan lain kecuali dengan mewujudkan perasaan-perasaan islami dan
pemikiran-pemikiran Islam. Setelah ini diwujudkan di tengah-tengah kelompok
masyarakat, maka akan terbentuk pulalah dalam diri individu-individu secara
pasti. Tidak dipungkiri lagi bahwa untuk merealisirnya tidaklah dilakukan
dengan jalan dakwah kepada akhlak, melainkan dengan jalan yang ditunjuk di
atas, yaitu dengan membentuk perasaan dan pemikiran masyarakat.
Sebagai langkah awal, perlu dipersiapkan suatu kelompok
dakwah yang berlandaskan Islam secara keseluruhan, yang individu-individunya
merupakan bagian dari jama'ah bukan sebagai individu yang terpisah, agar mereka
mampu mengemban dakwah Islamiyah di tengah-tengah masyarakat, membentuk
perasaan dan pemikiran Islam. Sehingga semua anggota masyarakat akan memiliki
akhlak sebagai tindak lanjut, setelah mereka beramai-ramai kembali kepada
Islam. Perlu digarisbawahi bahwa pemahaman kita dalam masalah ini tetap menjadikan
akhlak sebagai suatu kebutuhan yang sangat penting tatkala memenuhi
perintah-perintah Allah dan menerapkan Islam, serta menegaskan betapa
pentingnya seorang muslim mempunyai akhlak yang mulia.
Allah SWT telah menerangkan dalam berbagai surat Al-Quran
tentang sifat-sifat yang wajib dimiliki, serta yang wajib diupayakan oleh
manusia. Sifat-sifat tersebut menyangkut masalah-masalah aqidah, ibadah, mu’amalat
dan akhlak. Empat sifat ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.
Allah SWT berfirman dalam surat Luqman:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ
لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ
عَظِيمٌ، وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى
وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ،
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ
ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ، يَابُنَيَّ
إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي
السَّمَوَاتِ أَوْ فِي اْلأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللهُ إِنَّ اللهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ،
يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ
عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ، وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ
لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ
فَخُورٍ، وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ اْلأَصْوَاتِ
لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
"Dan
ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberikan
pelajarannya: 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya
mempersekutukan Allah itu adalah benar-benar kezhaliman yang besar.
Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik)
kepada kedua ibu dan bapaknya; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang terus bertambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kedua orang ibu dan bapakmu. Hanya kepada-Ku-lah tempat
kembalimu.
Dan jika keduanya memaksa kamu untuk mempersekutukan Aku
dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentangnya, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya.
Dan pergaulilah keduanya dengan baik, dan ikutilah jalan
orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku-lah tempat kembalimu.
Maka, (kelak akan) Kuberitakan kepadamu apa saja yang telah kamu kerjakan.
(Luqman berkata:) 'Hai anakku, sesungguhnya tidak ada
(sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada di dalam batu atau di langit
atau di dalam bumi, pastilah Allah akan mendatangkannya (membalasnya).
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya yang demikian itu
hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri.
Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah
suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai."(Luqman 13 - 19).
Allah SWT juga berfirman
dalam surat Al-Furqaan:
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ
يَمْشُونَ عَلَى اْلأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا،
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا، وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا
اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا، إِنَّهَا سَاءَتْ
مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا، وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا
وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا، وَالَّذِينَ لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ
وَلاَ يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَلاَ يَزْنُونَ
وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا، يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا، إِلاًّ مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَأُولَئِكَ
يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا، وَمَنْ
تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللهِ مَتَابًا، وَالَّذِينَ لاَ
يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا، وَالَّذِينَ إِذَا
ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا، وَالَّذِينَ
يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ
وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا، أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا
وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا، خَالِدِينَ فِيهَا حَسُنَتْ مُسْتَقَرًّا
وَمُقَامًا
Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan yang Maha
Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah
hati. Dan apabila orang-orang jail menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yang mengandung) keselamatan.
Dan
orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.
Dan
orang-orang yang berkata: 'Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami.
Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.
Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap
dan tempat kediaman.
Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan,
dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara
yang demikian.
Dan
orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah, dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang
benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia
mendapat (balasan) dosa(nya).
(Yakni)
akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam
azab itu, dalam keadaan terhina.
Kecuali
orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal sholeh. Maka baginya
kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang. Dan
orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal sholeh, maka sesungguhnya dia
bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.
Dan
orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan. Dan apabila mereka bertemu dengan
(orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka
lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan
ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang
tuli dan buta.
Dan
orang-orang yang berkata: 'Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami istri-istri
kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam
bagi orang-orang yang bertaqwa.
Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan martabat
yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan
penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya.
Mereka
kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat
kediaman"(Al-Furqaan
63-76)
Juga Allah SWT berfirman
dalam surat Al-Israa :
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ
إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا
أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً
كَرِيمًا، وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا
كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا، رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا فِي نُفُوسِكُمْ إِنْ تَكُونُوا
صَالِحِينَ فَإِنَّهُ كَانَ للأَوَّابِينَ غَفُورًا، وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ
وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا، إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ
كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا، وَإِمَّا
تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِنْ رَبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُلْ لَهُمْ قَوْلاً
مَيْسُورًا
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu dan
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara kedua-duanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ''ah'' dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah pada mereka perkataan yang mulia.
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: 'Wahai Tuhanku kasihilah mereka keduanya,
sebagiamana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil'.
Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Jika
kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang
yang bertaubat.
Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan; Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros.
Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan. Dan setan itu adalah sangat
ingkar kepada Tuhannya.
Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh
rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan
yang pantas.
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena dengan itu kamu
menjadi tercela dan menyesal.
Sesungguhnya
Tuhanmu melapangkan rizqi kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan
menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Tahu dan Maha Melihat hamba-hamba-Nya.
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
menjadi miskin. Kamilah yang memberi rizqi kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang sangat besar.
Dan
janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk.
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh
Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya (untuk membalasnya). Tetapi janganlah ahli waris
itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan.
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa. Dan penuhilah janji;
Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.
Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan
timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan
hati, semuanya akan diminta pertanggungan-jawabnya
Dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan
sampai setingi gunung.
Semua
itu kejahatan yang amat dibenci di sisi Tuhanmu". (Al-Israa 23-28)
Ayat-ayat dalam
ketiga surat di atas masing-masing merupakan satu kesatuan yang sempurna dengan
menonjolkan sifat-sifat yang beraneka ragam, menggambarkan identitas muslim,
dan menjelaskan kepribadian Islam yang pada hakekatnya berbeda dengan umat yang
lain. Yang menarik perhatian pada sifat-sifat tersebut, bahwa ia berupa
perintah-perintah dan larangan Allah.
Sebagian merupakan hukum-hukum yang berkaitan dengan
aqidah. Sebagian lainnya berkaitan dengan ibadah, mu’amalat dan akhlak.
Dapat diperhatikan pula, bahwa ia tidak terbatas hanya pada sifat-sifat akhlak,
tapi mencakup juga aqidah, ibadah, mu’amalat disamping akhlak. Inilah
sifat-sifat yang dapat membentuk kepribadian Islam. Membatasi pengambilan hukum
hanya pada akhlak, berarti meniadakan terbentuknya manusia yang sempurna dan
berkepribadian yang islami. Untuk mencapai tujuan akhlak, maka hendaklah
didasarkan atas landasan/asas ruhani, yakni aqidah islamiyah dan sifat akhlak
tersebut harus berlandaskan aqidah semata. Oleh karena itu seorang muslim tidak
akan memiliki sifat jujur hanya semata-mata kejujuran saja. tetapi karena Allah
memerintahkan demikian; meskipun ia mempertimbangkan realisasi nilai akhlaknya
tatkala ia berlaku jujur. Dengan demikian akhlak tidak semata-mata wajib
dimiliki karena diperlukan oleh manusia, akan tetapi ia merupakan perintah
Allah.
Berdasarkan hal ini, seorang muslim harus mempunyai
akhlak dengan segala sifat-sifatnya dan melakukannya dengan penuh ketaatan dan
kepasrahan. Sebab, hal ini berhubungan dengan taqwa kepada Allah SWT. Memang
akhlak biasanya muncul sebagai hasil ibadah, sesuai dengan firman Allah SWT:
إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
"Sesungguhnya
shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar"(Al-Ankabut 45)
Wajib pula dipelihara
dalam pelaksanaan (transaksi-transaksi) mu’amalat sebagaimana yang
disinggung dalam atsar bahwa agama itu adalah mu’amalat (berhubungan
dengan masyarakat). Disamping itu, akhlak merupakan sekumpulan perintah Allah
dan larang-larangan-Nya. Oleh karena itu, akhlak pasti mengokohkan diri setiap
muslim dan menjadikannya sebagi suatu sifat yang lazim (yang harus ada).
Berdasarkan keterangan di atas, maka disatukannya akhlak
dengan seluruh peraturan hidup --disamping merupakan sifat-sifat yang
bebas/berdiri sendiri-- juga akan menjadi jaminan pembentukan pribadi setiap
muslim (agar menyiapkan diri) dengan cara yang layak, mengingat bahwa mempunyai
sifat-sifat akhlak, merupakan pemenuhan terhadap perintah Allah atau menjauhi larangan-Nya,
bukan karena akhlak ini membawa manfaat atau madlarat dalam kehidupan.
Inilah yang menjadikan seorang muslim mempunyai sifat akhlak yang baik
secara terus menerus dan konsisten, selama ia berusaha melaksanakan Islam, dan
selama ia tidak mengikuti/ memperhatikan aspek manfaat.
Akhlak tidak ditujukan semata-mata demi kemanfaatan.
Bahkan manfaat itu harus dijauhkan. Sebab tujuan akhlak adalah menghasilkan
nilai akhlak saja, bukan nilai materi, nilai kemanusiaan, atau nilai
kerohanian. Selain itu nilai-nilai itu tidak boleh dicampuradukkan dengan
akhlak, agar tidak terjadi kebimbangan dalam memiliki akhlak beserta
sifat-sifatnya. Perlu diingat di sini, bahwa nilai materi harus dijauhkan dari
akhlak dan dijauhkan pula dari pelaksanaan akhlak yang hanya mencari
kemanfaatan/ keuntungan. Hal ini justru sangat membahayakan akhlak.
Walhasil akhlak
tidak dapat dijadikan dasar bagi terbentuknya suatu masyarakat, melainkan salah
satu dasar bagi pembentukan kepribadian individu masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat
tidak dapat diperbaiki dengan akhlak, melainkan dengan dikembangkan dan
dibentuknya pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan islami, serta diterapkannya
aturan-aturan Islam di dalam masyarakat itu. Memang benar, akhlak merupakan
salah satu dasar bagi pembentukan kepribadian individu masyarakat, itupun tidak
hanya akhlak semata. Malah tidak boleh dibiarkan sendiri, tetapi digabung
dengan aqidah, ibadah, dan mu’amalat. Atas dasar hal ini maka seseorang
tidak diperhatikan akhlaknya yang baik itu, jika belum memeluk aqidah Islam.
Sebab ia masih kafir, dan tidak ada dosa yang lebih besar dari pada kekafiran.
Demikian pula seorang muslim tidak diperhatikan lagi akhlaknya yang baik itu
sedangkan ia tidak melaksanakan ibadah atau tidak menjalankan mu’amalat sesuai
dengan hukum syara'. Berdasarkan hal ini, telah menjadi suatu keharusan dalam
meluruskan tingkah laku individu dengan membentuk dan memelihara aqidah,
ibadah, mu’amalat, dan akhlak secara bersamaan. Menurut syara' tidak
dibolehkan menitikberatkan hanya semata-mata akhlak dan meninggalkan
sifat-sifat lainnya. Bahkan tidak boleh memperhatikan sesuatu sebelum mantap
aqidahnya. Pemikiran yang menjadi dasar untuk akhlak adalah bahwasanya ia harus
disandarkan kepada aqidah islamiyah. Disamping setiap mukmin handaknya
mempunyai sifat akhlak hanya semata-mata sebagai perintah dan larangan Allah
SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar