AKHLAK BANGSA
Oleh Ir Luthfi Hidayat*
Kerusuhan bulan Mei yang mecatat banyak korban
penjarahan dan perkosaan semakin menyayat perasaan kita akan kondisi moral dan
akhlak bangsa ini. Terlebih ketika rentetan tindak kekerasan --terhadap wanita
itu-- ditengarai beberapa pihak telah dilakukan dengan sistematis dan
terorganisir, persis seperti cara-cara sistematis dan terorganisir dalam
peristiwa pengrusakan dan pembakaran yang juga terjadi waktu itu.
Kendati
keperihatinan kita tentang kemerosotan etika, moral, dan akhlak bukan hal yang
baru, namun yang lebih jadi perhatian dan sekaligus sedikit membingungkan kita
adalah, walaupun permasalahan tersebut sering dibahas, bahkan saban pagi
menghiasai kuliah-kuliah subuh di TV, tetapi kondisi akhlak umat belum juga
membaik. Atau setidaknya berhenti dari kemerosotannya yang kian tajam.
Dalam
pandagan Islam, hal utama yang penting dipahami bahwa akhlak bukanlah
nilai-nilai moral yang baik atau buruknya menurut pandangan manusia semata.
Akan tetapi, akhlak mulia semisal berbuat baik, berlaku adil, adalah merupakan
perintah dari Allah SWT dan Rasul-Nya yang harus kita taati. Allah SWT
berfiman: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS An Nahl 90).
Oleh karena itu, saat kita berlaku jujur, bukan dilakukan
semata-mata nilai kejujuran yang menurut pandangan manusia itu baik. Sikap
demikian hakikatnya terlahir atas bukti kesungguhan kita mengikuti jejak
Rasulullah saw.: “Sesungguhnya kejujuran
akan mengantarkan kepada kebajikan dan sesungguhnya kebajikan itu akan
mengantarkannya ke surga. Dan seseorang yang senantiasa berkata benar dan jujur
akan tercatat di sisi Allah sebagai orang yang benar dan jujur. Dan
sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan yang akhirnya menghantarkannya
ke neraka. Dan seseorang yang senantiasa berdusta, akan dicatat di sisi Allah
sebagai pendusta” (HR Bukhari dan
Muslim).
Begitu jua saat kita menilai suatu etika dan moral yang
buruk serta akhlak yang tercela. Walaupun memang tindakan demikian dibenci oleh
kebanyakan manusia, kebencian seorang muslim atas semua tindakan demikian
hakikatnya terlahir dari ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Tindakan
perkosaan dan penjarahan yang kita benci sesungguhnya terlahir dari nash-nash yang melarang kita melakukan
perbuatan itu. Allah SWT melarang seorang muslim mendekati perbuatan zina (QS Al Isra’ 2), apalagi sampai
melakukannya, baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, dilakukan
oleh individu maupun kolektif. Allah SWT juga melarang seseorang untuk memakan
harta saudaranya dengan cara-cara yang bathil
(QS An Nisa 29).
Walhashil, etika,
moral yang baik dan akhlak yang mulia dalam pandangan Islam sarat dan kental
dengan nilai-nilai ruh. Bukan hanya
kulit, namun juga substansi. Juga terhindar dari bias-bias standard nilai
manusia yang sering berbeda, yang juga tidak jarang ikut memberikan handil
dalam terjadinya sengketa. Dan yang jelas, kalau akhlak dipandang hanya sebagai
nilai-nilai baik menurut versi manusia, seorang muslim yang melakukannya tidak
akan mendapat pahala dari sisi Allah, mungkin hanya sekedar kepuasan pujian
dari manusia. Kita juga khawatir, jika akhlak tidak memiliki substansi ruh, dorongan atas ketaatan pada Allah,
yang terjadi adalah moral dan etika kulit dari seorang yang hipokrit. []
* Staf Peneliti Pusat Studi
Khazanah Ilmu-ilmu Islam (PSKII), Bogor
Jl.
Bhayangkara Raya No.02 Komplek Kedung Badak Baru. Bogor (16710). Telp/Fax (0251) 330628
Tidak ada komentar:
Posting Komentar